Durian Cinta
Rahma Dini Warastuti
Pengalaman
hidup membuat aku makin mengrti akan banyak hal. Mengerti akan arti garis
perjalanan hidupku dan mengerti akan
cinta yang sesungguhnya!
Membuka jendela balkon kamar,
mengahadapkan wajahku ke arah halaman depan rumah, merasakan angin sejuk menerpaku
dan kemudian,….menunggu bertruk-truk
durian datang terparkir di samping rumah adalah kebiasaan baruku sejak kami
semua pulang merantau 2 tahun dari Malaysia.
“
Nduk, ket mau kowe kok nglamun wae, ono
opo to nduk…..? (
Nduk. Dari tadi kok kamu melamun saja?, ada apa, nduk?). Suara lembut ibu telah membuyarkan pikiranku.
“lha nggih mboten to Bu, ya nda
pantas anak perawan macam saya melamun pagi-pagi buta begini bu,, Kulo namung menikmati keindahan ciptaan
Allah.
Sebenarnya aku tidak
sedang melamun, tetapi merenungi deretan kehidupan yang berapa tahun terakhir
ini kualami dan telah terukir kuat dalam
ingatanku. Bagaimana tidak, kami sekeluarga pergi merantau hanya membawa
beberapa helai baju, keterampilan seadanya dan asa yang kuat. Asa bahwa kami
bisa memperbaiki hidup di negeri orang.
Ya, sejak aku lulus SMK
tata boga, ayah memboyong kami berduam aku dan ibuku, pergi merantau mencari penghidupan yang lebih baik ke
negeri jiran Malaysia, tepatnya di kawasan Bukit Bintang. Aku tidak tahu mengapa
bapak membawa kami ke kota itu, surga
wisata belanja di Kuala Lumpur, bukan
untuk berbelanja, tapi untuk belajar dan
bekerja.
Malam
yang telah larut menyambut kedatangan kami di KLIA, yaitu bandara Internasional Kuala Lumpur.Ini adalah
pengalaman pertama bagi kami bertiga mencoba menaiki burung besi ini. Pikirku,
-dari mana bapak memperoleh uang banyak sehingga bisa membawa kami ke Malaysia
ini?- Belum sempat aku bertanya ke Bapak, jawaban itu sudah ada di depan
mata. Tiba-tiba ada seseorang laki-laki berpakaian
rapi datang menyapa kami. Ternyata laki-laki itu adalah teman SD bapak ketika
di kampung dulu dan sekarang sudah 20 tahun lebih menetap di Kuala Lumpur.
Dengan wajah sumringah, bapak bilang ke kami
bertiga, “Buk ne, Dwik,.. iki pak Widodo,
konco bapak seko tonggo kampong biyen.
Saiki wis sukses neng Malaysia dadi juragan gorengan. ” Pak Wid,
kenalkan, ini istri saya dan anak perempuan saya satu-satunya, Dwik namanya.”Hanya
senyum yang saat ini mampu aku sungging waktu itu, karena tiba tiba rasa
penasaran dan kagum dengan situasi hiruk pikuk bandara datang menyelimutiku.
Sambil memesan taksi , pak Widodo mengajak aku dan
ibu yang masih terkagum-kagum dengan hiruk pikuknya lalu lintas bandara
terbesar di Malaysia ini.
“Buk, mari
ikut saya ke taksi, untuk sementara tinggal dulu di rumah kami, kami hanya
berdua dengan istri. Kami sengaja mengundang pak Asmadi sekeluarga untuk
menetap di Malaysia untuk mengenalkan pekerjaan yang selama ini kami geluti kepada bapak dan mbak Dwik tentunya.”
Sambil menyalami beliau, ibu dan aku mengucapkan
terima kasih.
“Wid, ndi mobilmu, kok awake dewe numpak
Taksi?” tanya Bapak dengan Bahasa Jawa ke pak Widodo.
Dengan wajah sumringah dan bangga pak Widodo
mencoba menimpali ucapan bapak, “ Saya sengaja mengajak kalian semua dengan
transportasi umum, Nanti pak Asmadi akan lihat bagaimana majunya pembangunan di Kuala Lumpur saat ini ya !”
Aku jadi bingung dengan jawaban pak Widodo,” Apa
hubungannya naik taksi dengan kemajuan pembangunan di kuala Lumpur, pak
Widodo?, Tanyaku. Pak Widodo hanya tersenyum-senyum membiarkan aku mencari
jawabannya sendiri.
***
Sepanjang
jalan, diam -diam aku memperhatikan apa yang ibu lakukan. Ketika tidak sedang mengobrol dengan kami,
beliau sering sekali menengadahkan kedua
tangannmya seolah-olah berdoa meminta
sesuatu ke Allah sambil memejamkan matanya.
-Gemerlapnya kota Kuala Lumpur dan tertata rapinya
jalan-jalan di sepanjang jalan yang kami lewati semoga akan memberi harapan
lebih baik kepada keluargaku-. Itulah doa terindah ibu untuk kami semua.
Selama kami bertiga mengobrol di dalam taksi, aku
bisa mengambil kesimpulan bahwa ternyata pak Widodo ini mempunyai seorang istri
asli dari Kuala Lumpur. Istrinya tidak ikut menjemput kami karena harus menjaga
warung gorengannya yang makin ramai di malam hari. Mereka berdua memiliki dua anak yang masih sekolah tetapi tinggal
dengan pamannya yang tinggal di kota yang bernama Raub. Kota ini terkenal
karena banyak kebun buah durian Musang King yang dibudidayakan di daerah ini,
dan adik pak Widodo merupakan salah satu pemilik kebun durian di kota itu.
Tidak terasa taksi kami berhenti, kami turun dan
kemudian kami memasuki suatu gedung
besar dan megah yang dipenuhi lalu lalang orang yang entah datang dari mana dan
akan pergi kemana. “Seperti terminal tetapi ada atapnya, hehe“ Ucapku ke bapak.
Ternyata ucapanku ini didengar oleh pak Widodo, “ Betul mb Dwik, ini namnya KL
Sentral. Tujuan kita datang ke sini adalah ke terminal penghubung yang menghubungkan seluruh moda transportasi
penting di Kuala Lumpur ke berbagai destinasi tujuan, dan destinasi yang akan
kita kunjungi adalah Bukit Bintang. Untuk ke sana, mari kita mencari monorail
yang menuju ke sana.”
“Wow,…!”
Belum selesai kekakumanku akan suguhan- suguhan
fasilitas yang ada, aku diperlihatkan oleh pak Widodo bahwa pelayanan tiket monorail cukup dibeli di mesin tiket,
tidak ada loket tiket yng dilayani oleh manusia!
“Ehm…… ”. Baru tahu aku, alasannya mengapa pak Wid
menjemput kami dengan mengendarai taksi.Ternyata beliau ingin menunjukkan
transportasi moda yang menjadi kebangggaan warga Malaysia, yaitu monorail.
Yey, …Tibalah kami di stasiun monorail Bukit Bintang. Aku berharap tidak lama lagi akan sampai
di rumah keluarga pak Widodo dan langsung membaringkan tubuhku di tempat tidur.
Aku yakin bapak dan Ibu juga pasti capai melewati perjalanan 4 jam yamg sangat
melelahkan.
Hanya beberapa ratus meter saja dari stasiun Bukit
Bintang, tibalah kami di suatu jalan
sempit namun cukup ramai di tengah malam begini. Jalan ini cukup terkenal
hingga ke luar negeri karena kekhasannya.Ya, jalan Alor food street. Segala macam makanan atau jajanan terjajar di sepanjang jalan itu
di sepanjang malam.
www.kia.my
“Assalamualaykum
umi, lihat siapa yang datang?”Salam pak
Widodo dengan kencangnya. Seorang
perempuan paruh baya lari tergopoh-gopoh menghampiri kami semua, menyalami
bapak dan memeluk cium ibuku dan aku. -Ini pastilah makcik Aminah yang tadi
sempat diceritakan oleh pak Widodo di dalam taksi tadi. Rupanya rumah keluarga
pak Widodo tepat di belakang warung gorengannya. Hmmm,.. kenapa jadi lapar ya…
***
Setiap hari kami mengobrol tentang usaha gorengan
yang digeluti keluarga pak Widodo. Bagaimana beliau dulu memulai usaha tersebut
dan sekarang sudah membuka cabang d beberapa tempat di semenanjung Malaka.
Karena bapak dan aku yang akan belajar berbisnis di sini, maka Pak Widodo
memulai dari mencari tahu potensi kami masing-masing. Pak Widodo melihat bahwa
bapak yang walaupun sudah berusia di atas kepala lima, beliau masih memiliki
fisik dan asa yang kuat ingin belajar berbisnis. Menurut pak Widodo, bisnis
yang digeluti pak Widodo dan istrinya adalah durian goring dan berkebun buah
durian sebagai bahan bakunya.
***
Pagi-pagi
buta aku sudah dikejutkan dengan riuhnya
orang -orang kuli mengangkut menata durian ke meja pajangan, dan mengangkut
berkwintal-kwintal bahan baku terigu untuk membuat durian goreng. Beberapa
orang di antaranya adalah bapakku yang turut serta mengangkut durian maupun
menurunkan berkarung-karung terigu.
Bapak juga belajar bagaimana membedakan durian berkualitas bagus dan yang
berkualitas di bawah rata-rata. Selain itu, beliau juga belajar bagaimana
membudidayakan durian Musang king yang memiliki nilai jual sangat tinggi.
Di sisi lain, di dapur yang besar di
sisi warung makcik Aminah, aku bekerja
menjadi pelayan sekaligus belajar
bagaimana membuat durian goreng dengan aroma
yang menggiurkan. Kress... renyah
di luar, tapi begitu digigit terasa lembut di dalamnya. Aku harus bisa membuat durian goreng yang rasa
daging duriannya harus tetap
terjaga dan “Yummy banget!” Begitu para
pelanggan memuji durian goreng Makcik
Aminah. Ya, daging durian dihaluskan, dibungkus
dengan kulit lumpia tipis, kemudian digoreng
dengan adonan tepung yang ditambah dengan resep rahasianya dan disajikan dengan
kondisi hangat. “Satu lagi yang tidak boleh lupa,” kata makcik dengan senyum
yang mengembang, “ Lakukan semua tahapan itu dengan cinta!”
www.kia.my
***
“Insya allah ibu selalu mendukung
apapun keputusammu, Nduk, selama itu
masih di jalan Allah”. Tiba di tanah
air, aku harus segera memutuskan pekerjaan apa yang akan aku geluti. Akhirnya
aku berpikir bahwa Aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu dua tahunku di Malaysia
waktu itu. Aku putuskan untuk mengikuti
jejak bisnis makcik Aminah dan bapak
berkebun buah durian Musang King seperti yang pernah diajarkan oleh pak Widodo,
“Berprofesilah dan jadikan cinta
sebagai landasannya, seperti sempurnanya
cinta orang tua terhadap anak-anaknya”. Begitulah ibu memotivasi aku dan bapak dengan
sepenuh cinta.
***
Angin semakin kencang menerpa wajahku, aroma durian
Musang King sudah tercium dan
masuk melewati jendela balkonku meskipun aku baru melihat antrian truk jauh di
ujung sana datang mendekati rumah megah kami di sini.
Ya allah, Akhirnya aku bisa merenung dan membuat suatu kesimpulan bahwa apa pun
pekerjaan itu, jika dilakukan dengan sepenuh hati dan penuh cinta, tentu
hasilnya pasti akan baik. tidak ada pekerjaan yang hanya butuh satu ranah saja,
otot saja, otak saja skill saja atau
cinta saja.
Kuli durian atau pengangkut tepung
terigu, adalah profesi yang didominasi
oleh otot, pembuat durian goreng adalah
profesi yang didominasi oleh skill,
penemu varietas bibit durian Musang King adalah profesi juga, tetapi didominasi
oleh otaknya. Tetapi ketiga profesi tersebut tidak akan tercapai maksimal jika
tidak ada yang namanya cinta. Semua ranah , baik otot, skill dan otak ini saling melengkapi, tinggal profesi apa dan ranah
apa yang nantinya akan mendominasi.
durian cinta yg sangat berkesan
ReplyDeleteAiy ternyata kita.punya cerita.tebtang KL.keren judulnya
ReplyDeletecakeeeeep
ReplyDeleteDurian....belum dirasa sudah enak baunya. Seenak tulisan ini.
ReplyDelete