ALIRAN SEMANGAT IBU
ADA DI TUBUHKU
“Ra…, ayo kapan
kamu ke kampus untuk bimbingan.. sudah ditunggu promotormu”. Kalimat itu terus
yang selalu hadir di dinding whatapps
teman- teman sekelasku.
“Kita ketemuan
yuk..saling memberi motivasi….!”
Sudah beberapa hari ini aku mulai galau
menghadapi situasi seperti ini. Di satu sisi aku harus menemui promotorku,
dengan konsekuensi aku sebelumnya harus meluangkan waktu untuk membaca,
menganalisis buku-buku dan puluhan jurnal-jurnal internasional dan
menuangkannya dalam disertasiku.
Di sisi lain,
aku ingin menemani ibu yang terbaring sakit dan
memastikan segala kebutuhannya tercukupi dengan baik. Ibuku yang selalu
mengajariku untuk tidak mengeluh. Dengan kondisi beliau yang terbaring lemah,
beliau tidak pernah berkeluh kesah apalagi menceritakan apa yang sedang
dirasakannya. Ibuku yang dalam kondisi
sakit tak berdaya pun tidak pernah
melarangku untuk pergi meningglkannya berjam-jam. Beliau pernah bercerita,
"Aku isin
nek podo ngerti aku duwe lara. ” ( aku malu kalau banyak orang yang tahu aku
ini sakit) Menurutku betul juga ya, kita harusnya malu, karena ketahuan bahwa
kita tidak bisa merawat kesehatan kita. Bukankah kesehatan itu amanah yang
diberikan Tuhan untuk dijaga?
Memang menurut
cerita beliau, sewaktu beliau masih
kecil, beliau tidak pernah mau dibawa ke dokter, alasannya takut jika sakitnya
ketahuan, dan sepertinya sifat ini beliau bawa hingga beliau terdiagnosa
terkena Diabetes .
Vonis terberat
kemudian hadir di kehidupan ibu. Ibu sudah harus cuci darah seminggu sekali,
dan berbagai macam pantangan yang harus dipatuhi, dan terkadang ibu diharuskan
menginap karena kondisinya yang lemah. Tanpa terasa, kejadian ini telah
berulang-ulang, artinya sudah sembilan
kali ibu keluar masuk rumah sakit. Aku hapal sekali, setiap kali ibu keluar
dari rumah sakit, bukan sehat yang diperoleh, tetapi justru badan beliau makin
makin melemah. Belum lama aku masih bisa
menyaksikan ibu beraktifitas jalan ke sana kemari dan masih sanggup membawa barang belanjaannya
dari tukang sayur
Semakin ke sini,
ibu sudah tidak mampu melakukan itu semua, ibu sudah tidak sanggup jalan jauh,
hanya mampu di sekitar rumah saja. “ Ra,
aku mbok dituntun neng kamar mandi yo, kok sikilku wis rakuat ngadek suwe-suwe
iki” Cuma ada satu kalimat yang mampu
keluar dari bibirku, “Injih, Ibu”.
Begitu sudah tiba di kamar mandi, “Kono tinggalono, aku iso dewe.” Bgitulah
ibu, bliau tidak pernah mau bermanja-manja dengan anaknya. Selama masih bisa
lakukan,segala sesuatu bliau ingin lakukan sendiri Pernah suatu ketika, aku
tahu sekali begitu capeknya beliau, kemudian aku menawarkan diri untuk memijat
badan ibu, tetapi tetapi ibu menolak dengan halus, benar-benar tidak kerso
dipijat walaupun bliau sedang capek. Hal ini terjadi berulang-ulang, dan akhirnya aku mulai hafal dengan penolakan
ini.
Tidak lama
setelah itu, ibu masih bisa berdiri, tetapi sudah tidak bisa melangkahkan
kakinya, sehingga jika ibu bosan di berada di tempat tidur, maka saya bantu
papah ibu ke kursi terdekat dan kemudian
saya siapkan air hangat dengan sedikit taburan garam dan healing oil agar ibu
bisa merendamkan kakinya di situ. Jika tiba waktunya ibu untuk berangkat ke
rumah sakit untuk cuci darah, maka giliran kakak laki-lakiku yang melayani ibu,
dengan menggendoongnya ke kursi roda, mendorongnya atau langsung menggendong beliau masuk ke
mobil. Hampir setiap pasien hemodialisa,
cuci darah merupakan rutinitas
yang cukup melelahkan, oleh karena itu, pasien yang akan melakukan cuci darah
sangat disarankan dalam kondisi cukup energi dan tetap berenergi selama
melakukan proses dialisis atau cuci darah yang memakan waktu 4 - 5 jam.
Pada Akhirnya
ibu memang harus berjuang dengan penyakitnya sampai tetes darah penghabisan.
Ibu terpaksa harus cuci darah. Detik-detik terakhir ibu pergi masih kuingat
hingga kini. Di saat aku tertidur dengan membawa kelelahan menunggu ibu,
tiba-tiba aku dibangunkan oleh suamiku, “ Dik, dik,.. ibu sudah tiada, yang
kuat ya Dik…”.
Tepat jam 22.10
Allah telah memanggil engkau dengan wajah yang bersih dan teduh.
“ Di mana kalian
berada, kematian akan mendapatkan kalian dan meskipun kalian berada di dalam
banteng yang kokoh,…”( QS Annisa: 78)
-Ibu, tidak ada
satu butir air mataku menetes di pipi mengiringi kepergianmu, kakak kakakku
yang telah engkau didik sehingga mampu menguatkan hatiku ini. Ratusan orang
datang memberi penghormatan terakhir padamu.
-Ibu, setelah engkau pergi, aku makin
menyadari bahwa Engkau telah meninggalkan berjuta-juta keteladanan untuk semua
orang di sekelilingmu akan ketegaranmu, tidak pernah mengeluh, mandiri,
demokratis dan lemah lembut.-
Ibu, setiap kali
kuingat engkau, hanya doa yang tiada pernah putus aku ucapkan.
Ibu, setelah
engkau pergi, aku makin menyadari bahwa Engkau telah meninggalkan berjuta-juta
keteladanan untuk semua orang di sekelilingmu akan ketegaranmu, tidak pernah
mengeluh, mandiri, demokratis dan lemah lembut. Aliran semangatmu selalu ada di
dalam tubuhku
Ibu, setiap kali
kuingat engkau, hanya doa yang tiada pernah putus aku ucapkan.
----------*----------
Sekarang
saatnya aku untuk menata waktu kembali,
membuat janji bertemu setiap minggu dengan dua promotorku dan memotivasi teman-
teman yang masih berjuang dengan disertasinya dan mengikuti pelatihan- pelatihan
penulisan jurnal internasional.
Semangat, ayo semangat membaca, meneliti, dan
membuat laporan, aku punya tekad, wisudaku nanti sebagai kado terindah untuk
ibu-
Cerita kenangan
yang terus hadir dan tak pernah lekang oleh waktu meskipun engkau sudah tidak
di sini lagi……
by Rahma Dini Warastuti
by Rahma Dini Warastuti
Membaca judul saja sudah terenyuh...lanjut membaca bagus sekali. Luar biasa mantul
ReplyDelete